•   Saturday, 20 Apr, 2024
  • Contact

Drajat: Audit Biaya Lobby Kemenlu ke DK PBB

Soal Indonesia terpilih anak sebagai ATT DK PBB, hebohnya Kemenlu dinilai lebay

 

Soal Indonesia jadi ATT DK PBB, Kemenlu berlebihan hebohnya.

Saat ini Kemenlu seperti sedang terkena euforia menyusul terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (ATT DK PBB). Hal ini disertai dengan pemberitaan dan penyebaran pesan di medsos yang super heboh.

Kemarin saya sudah mengingatkan agar Kemenlu jangan heboh-heboh amat. Peranan ATT DK PBB itu sangat terbatas. Di sisi lain, ada 126 negara yang pernah menjadi ATT DK PBB.

Bahkan, Arab Saudi pernah menolak duduk sebagai ATT DK PBB. Ceritanya, Arab Saudi terpilih pada tanggal 17 Oktober 2013. Perolehan suaranya 176. Bandingkan dengan Indonesia yang memperoleh 144.

Selain itu, Arab Saudi tidak mendapat saingan dari negara lain ketika terpilih. Hal ini sama dengan Jerman, Belgia, Afrika Selatan dan Republik Dominika yang terpilih bersama Indonesia untuk periode 2019-2020. Hanya Indonesia vs Maladewa yang harus masuk pemungutan suara.

Setelah terpilih, Arab Saudi langsung menyatakan menolak duduk dalam DK PBB. Alasannya, DK PBB dinilai berstandar ganda, sehingga tidak efektif dalam mengatasi konflik Israel-Palestina, pelucutan senjata nuklir di Timur Tengah dan penghentian perang saudara di Suriah.

Pada tanggal 12 November 2013, Arab Saudi melalui Dubesnya di PBB, Abdallah Y. Al-Mouallimi, secara resmi mengirim surat penolakannya. Kursi yang ditinggalkan Arab Saudi lalu diisi oleh Yordania, yang terpilih pada tanggal 6 Desember 2013 dengan 178 suara.

Arab Saudi memang menjadi satu-satunya negara yang pernah menolak duduk dalam DK PBB. Namun alasan penolakan Arab Saudi tersebut adalah fakta yang diakui oleh banyak diplomat dunia. Ya memang begitulah DK PBB.

Karena itu, saya punya tiga pertanyaan kepada Kemenlu.

Pertama, mengapa Indonesia ngotot menjadi ATT DK PBB untuk periode 2019-2020? Sampai-sampai harus voting melawan Maladewa, yang belum pernah sekalipun menjadi ATT DK PBB. Padahal unggah-ungguhnya, negara yang belum pernah lah yang diberi kesempatan.

Kedua, mengapa ngotot untuk periode yang dimulai 1 Januari 2019?

Ketiga, dan ini sangat penting, berapa anggaran APBN yang dipakai untuk memenangkan persaingan melawan Maladewa? Pos anggaran apa saja yang dipakai?

Sebagai perbandingan, Australia menghabiskan US$ 25 juta (hampir Rp 350 milyar) ketika menang tahun 2012. Swedia habis US$ 4 juta (hampir Rp 56 milyar) pada tahun 2016 hanya untuk biaya staf/diplomat, utusan khusus, dan perjamuan. Ini belum termasuk biaya lobby yang lebih mahal.

Rakyat berhak tahu, mengapa pemerintah lebih memrioritaskan kampanye ke DK PBB dibanding program lainnya. Urgensinya apa? BPK juga perlu mengaudit, apakah biaya lobby yang digunakan itu sah.

* Drajat Hari Wibowo adalah Anggota Dewan Kehorm

Related News

Comment (0)

Comment as: