Tiga Hotel Tiga Malam

Oleh Dahlan Iskan

Ini salah saya sendiri: tidak mau bikin rencana jauh hari. Akibatnya: tidak mudah cari hotel. Saat di Istanbul kemarin. Di sekitar tahun baru itu.
Tapi itu baik juga. Bisa pindah-pindah hotel. Sambil mengenal kawasan yang berbeda.

Apalagi kota Istanbul ini begitu luas. Buyuk Sehir. Kotanya pun di bagi dua: Atasehir dan Bahcesehir. Yang di benua Asia disebut Atasehir. Yang di Eropa disebut Bahcesehir. Dipisahkan selat Bosphorus.

Yang di kawasan Eropa pun (Bahcesehir) dibagi dua: kota lama dan kota Bosphorus. Yang dipisahkan laut sempit. Yang menjorok jauh ke dalam daratan Istanbul. Disebut Teluk Golden Horn.

Hari pertama saya bermalam di kota lama. Dekat Masjid Biru. Dengan gang-gangnya yang naik turun bukit.
Yang penuh dengan toko mode. Salon. Money Changer. Kebab. Doner. Iskender. Toko buah.

Jalan-jalannya penuh manusia. Kasir di toko baju pun diantre panjang. Hotel saya ramai dengan tamu Afrika Selatan. Yang Islami. Banyak juga yang seperti kulakan dagangan.

Di kawasan ini saya bertemu para mahasiswa Indonesia. Yang seru itu.
Yang mengesankan itu.

Hari kedua saya pindah hotel. Tepatnya: terusir. Ke dekat selat Bosphorus. Dapat hotel apa boleh buat: Swissotel. Yang mewah sekali. Menghadap ke selat Bosphorus.

Adanya hanya itu. Semua hotel kebanjiran tamu tahun baru.

Saya nikmati saja: gymnya. Yang layar di sepeda pancalnya bisa untuk apa saja: instagram, Facebook, email dan membuka youtube. Satu jam tidak terasa.

Saya jadi ingat ketika di Izmir. Juga terpaksa. Dapat Swissotel. Yang juga sangat mewah. Yang juga saya nikmati gymnya: gym terbesar yang pernah saya lihat di dunia.

Sampai saya hitung ruangnya: ada ruang khusus sepeda balap. Dengan 20 sepeda berjajar. Ada ruang khusus sepeda pancal. Ruang treadmill. Alatnya dijajar sampai sejauh 120 langkah kaki saya.

Ada ruang dengan alat-alat canggih yang berat: untuk body building. Bagi yang muda-muda.

Ada ruang untuk yoga. Dengan bola-bola besar. Sebanyak itu: 24 bola. Ada studio-studio yoga yang lebih kecil. Ruang khusus latihan beban. Ada kolam renang indoor dan outdoor. Ada segala macam alat jungkir balik. Segala macam alat getar.

Saya pernah ke gym yang sangat besar di Amerika. Tidak sebesar dan semewah yang di Izmir itu.

Di hari kedua itu bisa saja saya jalan-jalan. Di sekitar Swissotel. Di belakang StRegist Hotel. Segala macam toko barang mewah ada di jalan-jalan sekitar itu. Yang juga sangat ramai. Dengan wanita penenteng belanja.

Di sekitar ini juga berderet praktek dokter. Khusus operasi plastik. Kecantikan. Botoks. Tarik benang. Implant payudara. Pemancung hidung. Pelebar mata. Mungkin juga. Penyemok pantat. Dan penyari rapet benda berharga.

Saya sudah tahu itu.
Tidak perlu ke situ.

Setelah dua malam di sisi Bahcesehir ini saya pindah lagi. Ke sisi Atasehir. Kota Istanbul yang di timur selat Bosphorus. Yang dari sisi barat terlihat seperti anak tiri. Seperti hinterland yang di depan.

Tapi, kini sebenarnya sudah berubah. Sisi timur itu tidak kalah pentingnya. Tidak lagi seperti ‘Samarinda Seberang’. Atau seperti ‘Kampung 20 Ilir’ di seberang Palembang.

Kota Istanbul yang di sisi Asia ini sudah punya predikat baru: pusat bisnis dan finansial.

Memang tidak ada obyek wisata di sisi ini. Meski pantai Marmaranya dibuat bersih, rapi dan indah. Yang panjangnya sekitar 10 Km. Tidak kalah dengan woterfront city di kota-kota di Tiongkok.

Di sisi Atasehir ini juga bermunculan pencakar-pencakar langit. Pertanda lagi menggeliat berat.
Bandara besar juga ada di sisi ini. Saya naik pesawat dari bandara Sabaha ini. Ketika balik ke Beirut lagi.

Masjid terbesar di Turki pun lagi dibangun di sisi Asia ini. Hampir selesai. Tidak kalah dengan masjid Biru di kota lama. Menaranya pun dibuat enam.
Sudah lebih 1000 tahun. Tidak ada orang Turki yang berani. Membangun masjid dengan enam menara. Hanya Recip Erdogan yang punya nyali. Tidak takut dianggap menyaingi kebesaran Turki Usmani. Atau Kemal Attaturk. Erdogan bisa jadi memang merasa sebagai pemimpin besar Turki masa kini.
Baik juga.

Berada di Istanbul sisi timur memang beda sekali. Tidak terasa hingar bingar turisme. Hiburan. Gemerlapan. Tapi mal-mal baru juga terus berdiri. Di dekat hotel saya ini saja ada mal istimewa: halaman tengahnya air mancur menari. Nama mallnya sendiri Water Garden. Di sini saya makan Iskender. Yang lebih enak lagi di resto aslinya.
Mengunjungi restoran asli pencipta makanan Iskender sejak tahun 1867.

Saya melihat Istanbul sisi timur akan bisa seimbang dengan sisi barat. Di masa depan. Ini sekaligus beban untuk selat Bosphorus. Tiga jembatan tidak akan memadai lagi. Satu tunnel baru itu akan segera padat. Siapa takut. (dahlan iskan)

Related News

Comment (0)

Comment as: