Kuapok!, Tiga Lembaga Survey Dikartu-merah

JAKARTA - Lembaga survey belakangan semakin tak dipercaya masyarakat. Apalagi setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 lalu di mana hasil polling lembaga survey jauh berbeda dengan hasil perhitungan manualnya.

Pilkada DKI Jakarta juga bisa menjadi contoh. Saat itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta telah merilis hasil penghitungan Pilgub DKI. Hasilnya adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh angka 57,95 persen, sedangkan Basuki Tjahaja Punama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mendapat 42,05 persen.

Dari hasil tersebut, bisa dibandingkan dengan presentase quick count dari sejumlah lembaga survei. Apakah memberikan hasil sesuai metodologi atau malah melenceng jauh dari hasil di atas.

Peneliti FISIP UI, Fitri Hari mengatakan, perlu dilakukan audit publik kepada lembaga survei seperti SMRC, Indikator, dan juga Charta Politica. Lembaga survei itu, kata Fitri, perlu diberikan kartu merah oleh publik karena hasil buruk surveinya di pilkada Jakarta, putaran kedua.

"Publik harus aktif menilai kinerja lembaga survei. Sehingga ke depannya lembaga survei lebih berhati-hati mempublikasi risetnya, dan lebih memperhatikan metodologi," ujar Fitri menyatakan temuannya, Jumat (21/4).

Menurut Fitri, evaluasi ini penting agar publik tidak hanya dijadikan obyek oleh lembaga survei. Publik juga harus menjadi subyek, membangun tradisi mengkritik lembaga survei agar berhati-hati dengan publikasinya.

Fitri menggunakan kategori kartu merah untuk lembaga survei yang salah fatal. Kartu kuning untuk lembaga survei yang tak mempublikasi hasil surveinya padahal di putaran pertama mereka aktif. Kartu biru untuk lembaga survei yang berhasil menggambarkan realitas di hari Pilkada. "Kartu merah diberikan kepada SMRC (Saiful Mujani Research Center), Indikator, dan juaranya Charta Politica," katanya.

Ia menjelaskan, kartu merah itu untuk dua kegagalan. Pertama kegagalan menggambarkan tren. Kedua, lembaga survei itu menggambarkan trend Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menaik, dan Anies yang menurun. Padahal kenyataannya, Anies Baswedan justru menanjak tinggi melambung ke angka 57,95 persen.

Kedua, lanjut Fitri, kegagalan menggambarkan selisih kemenangan. Ketiga lembaga itu meyakinkan publik bahwa selisih Anies vs Ahok sangat tipis, bahkan di bawah margin of error. Kenyatannya, selisih Anies dan Ahok sangat besar di atas 15 persen, berkali-kali di atas margin of error. "Dua kegagalan ini fatal. Dan tiga lembaga di atas layak dicatat publik mendapatkan kartu merah untuk urusan Pilkada," kata Fitri.

Ia menambahkan, mengapa Charta Politica dianggap juara kartu merah. Pasalnya,  Charta Politica menjadi satu-satunya lembaga yang menggambarkan Ahok sudah menyalip Anies. Kenyataannya 180 derajat, dukungan Anies justru semakin meninggalkan Ahok.

Sementara itu, Kartu kuning diberikan kepada lembaga survei yang absen di putaran kedua. Padahal di putaran pertama mereka sangat aktif. Fitri mencatat, absen di babak final atau putaran kedua, padahal aktif di babak putaran pertama, itu mengundang kecurigaan.

Lembaga tersebut sangat mungkin memilih tidak mempublikasikan hasilnya karena hasilnya bertentangan dengan kepentingan lembaga itu. Jelas itu absen karena pemihakan.

"Atau bahkan tak mendapatkan order melakukan survei padahal di putaran pertama aktif konferensi pers soal surveinya. Inipun sebuah point negatif kok gagal mendapat order di babak final padahal mendapatkan order di putaran pertama," katanya.

Kartu kuning layak diberikan kepada lembaga itu. Yaitu CSIS, Litbang Kompas, Polltracking, dan juaranya Populi Center. Mengapa Populi Center menjadi juara kartu kuning. Lembaga ini sangat aktif soal pilkada DKI bahkan sebelum para calon gubernur diumumkan. Di putaran kedua, Populi Center sama sekali tak ada konferensi persnya.

Dan yang terakhir, lanjut Fitri, adalah kartu biru diberikan kepada lembaga survei yang berani melakukan konferensi pers dan jelas jejaknya, dan hasilnya bisa menggambarkan hasil resmi pilkada DKI. Lembaga yang tidak melakukan konferensi pers resmi tidak dihitung untuk kategori ini. "Yang mendapatkan kartu biru lembaga survei Median, SDI, dan juaranya LSI Denny JA, " papar Fitri.

Mengapa LSI Denny JA menjadi juara kartu biru? Dibandingkan dengan dua lembaga survei lain, LSI Denny JA satu satunya yang berani mengklaim kemenangan Anies-Sandi dengan dua hal.

Pertama, hanya LSI Denny JA yang konferensi pers dan memublikasikan Anies-Sandi di atas 50 persen. Kedua, LSI Denny JA menggambarkan selisih Anies vs Ahok di atas margin of error, yang bahkan tak bisa disusul walaupun suara swing voters yang tersisa semuanya ke Ahok-Djarot.

Related News

Comment (0)

Comment as: