•   Thursday, 18 Apr, 2024
  • Contact

Tuan dan Nyonya Pers Itu Sudah Mati (2)

PADA MASA awal Orba, tidak bisa dipungkiri kekuasaan Soeharto terkooptasi oleh lingkungannya yang “anti-Islam” di satu sisi. 
_____________________________________________
Oleh: Nasmay L. Anas
_____________________________________________
Pada sisi yang lain, sebagai pemerintahan yang militeristik, kekuasaannya mencengkeram begitu kuat. Dan mesti diingat, kecenderungan yang anti-Islam itu dikarenakan Soeharto dikelilingi para tokoh non-muslim yang memang tidak suka Islam itu tumbuh berkembang.
Bila bicara kehidupan pers, di masa itulah Surat Ijin Usaha Pers (SIUP) dilembagakan begitu keras. Media yang tidak taat aturan – menurut ketentuan tidak tertulis dari Cendana (kediaman Soeharto), tentu saja – langsung dilibas. Dibreidel istilahnya. Walaupun sesekali ada instruksi untuk memuat atau tidak memuat berita tertentu, namun kehidupan pers itu berjalan semarak. Kalangan wartawan sudah tahu batas-batas yang tak boleh dilanggar. Terutama yang berkaitan dengan kepentingan Cendana dan Mabes ABRI (sebutan TNI kala itu).
Selain itu, mereka masih dibolehkan memiliki idealisme sebagai insan media. Lembaga yang dianggap sebagai salah satu pilar keempat demokrasi. Karenanya lembaga pers memainkan peran yang bisa dikatakan membanggakan. Benar-benar menjadi penyeimbang bagi ketiga pilar demokrasi yang lain.
Dan yang paling penting bagi kalangan wartawan: Meskipun tidak bergaji sebesar gaji wartawan saat ini, namun mereka bangga jadi wartawan. Ada gengsi yang dapat dibanggakan dengan profesi itu. Sebagai bagian dari pejuang demokrasi. Dan tentu saja hal itu juga diimbangi oleh harga barang-barang kebutuhan pokok yang murah.
Berkenaan dengan kebijakan Orba yang militeristik dan anti Islam di hari-hari awal kekuasaannya, barangkali ada baiknya kita menggali beberapa peristiwa di era itu. Sekadar untuk melihat suasana keprihatinan yang dialami umat Islam. Lalu kita bandingkan dengan suasana yang kita hadapi sekarang.
Salah satunya adalah cerita dua sahabat kami yang ditugaskan meliput peristiwa Talang Sari di Lampung pada 1989. Ketika mereka tertangkap apparat militer di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur yang merupakan daerah konflik itu. Mereka ditelanjangi sehingga hanya menggunakan celana kolor. Lalu digiring di depan moncong senjata menuju basis militer setempat. Baju, celana dan barang bawaan lainnya harus mereka angkat tinggi di atas kepala, sambil jalan dengan rasa takut ditembak dari belakang.
Suasana yang sama juga dialami wartawan ketika meliput peristiwa Tanjung Priok 1984. Tak bisa dipungkiri, ada begitu banyak informasi tentang kejadian di malam jahanam itu. Terutama informasi dari masyarakat banyak. Misalnya tentang jumlah korban yang tidak terhitung. Cerita tentang truk-truk militer yang bolak balik mengangkut korban yang tertembak. Yang sudah jadi mayat dan bisa jadi juga yang masih bernafas alias sekarat. Semua dilempar sampai bertumpuk di dalam bak truk.
Meski demikian, semua informasi yang melimpah itu tidak mungkin ditulis. Nara sumbernya tidak layak diberitakan. Satu-satunya narasumber yang “boleh” dikutip adalah dari pemerintah. Dan lucunya, masih banyak wartawan yang dapat menulis sesuai idealismenya sebagai seorang jurnalis. Dengan sangat hati-hati tentu saja. Media massa juga masih menerbitkan berita tentang kejadian itu. Tidak menutup saluran informasi yang jadi hak publik. Karena jurnalis maupun medianya masih memiliki apa yang disebut idealisme. Sama-sama terobsesi untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan publik. Kepentingan rakyat banyak yang berhak mendapatkan informasi.
***
PATUT diingat, kekuasaan Orba Soeharto mengalami evolusi. Secara perlahan tapi pasti, rejim Orba menyadari kekeliruannya. Bahwa tidak selamanya harus berbenturan dengan umat Islam yang mayoritas. Apalagi orang-orang di “Ring 1” kekuasaannya mulai ada yang berani memperlihatkan ke-Islamannya. Tidak seperti beberapa pejabat lama yang takut dicap sebagai muslim. Meskipun tidak disebut radikal.
Kehidupan beragama umat Islam kemudian jadi semarak. Para cendekiawan Islam mulai sadar diri. Mereka berkumpul dan berserikat. Di antaranya dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Malang, 7 Desember 1990. Kaum wanita mulai banyak yang mengubah penampilan. Memilih menggunakan busana muslimah ketimbang menggunakan pakaian bertelanjang punggung, dada dan ketiak. Pakaian-pakaian model kekurangan bahan seperti sebelumnya. Masjid juga ramai dikunjungi jama’ah, karena kegiatan pengajian dan taushiyah agama yang aktif diselenggarakan di banyak tempat.
Sayangnya umat Islam itu selalu saja malang nasibnya. Euphoria kebangkitan Islam di dekade 1990-an itu sampai juga pada titik nadirnya. Ketika Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara dihadapkan pada krisis multi-dimensi yang tidak tanggung-tanggung. Lalu kapal besar bernama Republik Indonesia yang dinakhodai Soeharto itu pun oleng. Dan apakah kita tak boleh berpikir, bahwa musuh-musuh Islam pun tidak mau sia-siakan kesempatan itu?  Untuk menangguk di air keruh.
Aksi massa pun digerakkan. Anak bangsa dibenturkan satu sama lain. Fitnah disebar begitu rupa. Ada pemerkosaan massal terhadap gadis-gadis keturunan Tionghoa, yang notabene adalah non-muslim. Dus, para pelakunya adalah para lelaki tak beradab yang tentu saja adalah muslim. Dalam kerusuhan berdarah 13-15 Mei 1998, korban berjatuhan begitu banyak. Yang muslim maupun non-muslim. Dan dalam aksi-aksi demonstrasi yang begitu menggelora, ada mahasiswa yang ditembak. Utamanya di perguruan tinggi Kristen, walaupun tidak semua korban adalah Kristen. Kesimpulan akhir: Korban terbesar dan yang jadi sasaran kerusuhan massal itu adalah orang Kristen. Dan lagi-lagi pelakunya yang dikambinghitamkan adalah para pemuda muslim.
Dalam tempo singkat, kekuasaan Orba pun tumbang. Tapi pengunduran diri Soeharto tidak serta-merta membuat kehidupan anak bangsa ini membaik. Ada begitu banyak persoalan yang tersisa. Termasuk tuduhan bahwa Prabowo Subianto itu adalah pelaku penculikan terhadap aktifis pro-demokrasi. Walaupun sudah diputuskan bahwa Prabowo “diberhentikan dengan hormat” – bukan “dipecat secara tidak terhormat” – namun cap sebagai pelaku penculikan tidak serta-merta menjauh dari sosok dirinya. Karena tuduhan itu masih terus dihembuskan. Termasuk oleh pers yang sudah terkooptasi kekuasaan. Dan sampai kini dirinya masih dipersalahkan sebagai bagian dari Orde Baru, padahal biduk cintanya bersama salah satu puteri kesayangan Soeharto sudah ditenggelamkan tanpa ampun. (BERSAMBUNG)

Related News

Comment (0)

Comment as: